KOTA MALANG – Persaingan seleksi wakil rakyat semestinya diikuti oleh kontestan-kontestan yang jelas rekam jejaknya. Diantaranya memiliki keberpihakan pada kepentingan masyarakat, berkomitmen pada pemberantasan korupsi, serta bersih dari dinasti koruptor.
Namun realitasnya tak demikian, banyak dari legislatif terpilih yang justru tidak berkompeten di bidang politik, mantan napi, namun merajai kursi.
Namun realitasnya tak demikian, banyak dari legislatif terpilih yang justru tidak berkompeten di bidang politik, mantan napi, namun merajai kursi.
Hal inilah yang memunculkan ide diskusi publik siang kemarin (20/5) di Ruang Sidang KH Wahid Hasyim Pascasarjana Universitas Islam Malang (Unisma). Diskusi yang membahas seleksi kepemimpinan, money politics, dan nasib demokrasi ini diisi oleh 3 pembicara. Yakni Presidium Rakyat Malang, Bambang GW; Ketua GMPK Malang Raya, Abdul Aziz; serta Direktur Pascasarjana Unisma, Prof. Mas’ud Said, Ph.D.
Dalam diskusi tersebut ketiga pemateri menyoroti caleg yang memenangkan kursi dengan latar belakang yang tak pernah terlihat berkampanye, mantan napi, hingga tak pernah bertandang ke Malang karena berdomisili di luar kota. Dari hal tersebut dapat tercium dugaan adanya praktik money politics yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pileg 2019 di Kota Malang.
Begitu kuat dugaan tersebut hingga pada pekan lalu warga Kota Malang digegerkan dengan berita pengembalian money politics yang diterima dari tim sukses caleg ke kantor Bawaslu.
Direktur Pascasarjana Unisma, Prof. Mas’ud Said, Ph.D, mengatakan bahwa sejatinya politik dan uang memang akan selalu beriringan. Jika ingin mendapatkan kekuasaan politik, harus ada uang. Pun jika ingin mendapat uang yang banyak, harus menguasai politik dan kekuasaan.
“Money politics is everywhere. Di Indonesia, uang menjadi kebutuhan utama dalam berpolitik, imamnya lah. Misalnya saja kita lihat contoh ada orang yang berkompeten dalam bidang politik, dalam sisi ilmu dan praktik, tapi kalau nggak ada uang ya nggak bakal jadi,” terangnya.
Ia meyakini bahwa sebenarnya demokrasi di Indonesia memasuki right track. Akan tetapi Indonesia butuh buldozer yang menghilangkan sampah-sampah seperti koruptor dan pelaku money politics. Jika orang-orang tersebut dengan habitnya tidak bisa dibasmi, maka demokrasi Indonesia akan tetap seperti sekarang.
“Saya contohkan pemimpin yang menang karena money politics. Saat pemilihan presiden, Donald Trump dan Hillary Rodham. Hillary itu guru besar, dia master sedangkan Trump tanyakan orang Amerika is he the best? No, tapi saat yahudi dan uang ikut campur tangan, 2 hari sebelum pengumuman dia menang,” beber dia.
Ia juga mencontohkan dirinya dengan Wali Kota yang tak akan bisa bersaing, meski dilihat sebagai seorang guru besar yang sekalipun ilmunya melebihi Wali Kota, namun tak ada harap jika tak ada uang. Di Indonesia, sekalipun guru besar bisa mengajar mahasiswa S3, namun belum tentu bisa jadi wakil rakyat. Berbekal ilmu politik dan pemerintahan saja di Indonesia menurutnya tidak akan ada hasilnya.
Melihat fakta-fakta tersebut, maka dikatakannya membenahi sistem rekrutmen pemimpin sangat perlu dilakukan. Bukan hanya dari segi finansial saja, namun seorang wakil rakyat, seorang pemimpin harus punya kualitas pendidikan dan attitude yang baik.
“Indonesia, we should move on. Jangan terpaku dengan perpolitikan saat ini. Kita harus berubah membenahi sistem. Jangan hanya di lisan, mari kita kawal. Dukung pemerintah untuk lebih ketat menyeleksi kandidat wakil rakyat,” tutupnya.
Pewarta: Rida Ayu
Foto: Laoh Mahfud
Penyunting: Fia
pewarta : Radar Malang
Dalam diskusi tersebut ketiga pemateri menyoroti caleg yang memenangkan kursi dengan latar belakang yang tak pernah terlihat berkampanye, mantan napi, hingga tak pernah bertandang ke Malang karena berdomisili di luar kota. Dari hal tersebut dapat tercium dugaan adanya praktik money politics yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pileg 2019 di Kota Malang.
Begitu kuat dugaan tersebut hingga pada pekan lalu warga Kota Malang digegerkan dengan berita pengembalian money politics yang diterima dari tim sukses caleg ke kantor Bawaslu.
Direktur Pascasarjana Unisma, Prof. Mas’ud Said, Ph.D, mengatakan bahwa sejatinya politik dan uang memang akan selalu beriringan. Jika ingin mendapatkan kekuasaan politik, harus ada uang. Pun jika ingin mendapat uang yang banyak, harus menguasai politik dan kekuasaan.
“Money politics is everywhere. Di Indonesia, uang menjadi kebutuhan utama dalam berpolitik, imamnya lah. Misalnya saja kita lihat contoh ada orang yang berkompeten dalam bidang politik, dalam sisi ilmu dan praktik, tapi kalau nggak ada uang ya nggak bakal jadi,” terangnya.
Ia meyakini bahwa sebenarnya demokrasi di Indonesia memasuki right track. Akan tetapi Indonesia butuh buldozer yang menghilangkan sampah-sampah seperti koruptor dan pelaku money politics. Jika orang-orang tersebut dengan habitnya tidak bisa dibasmi, maka demokrasi Indonesia akan tetap seperti sekarang.
“Saya contohkan pemimpin yang menang karena money politics. Saat pemilihan presiden, Donald Trump dan Hillary Rodham. Hillary itu guru besar, dia master sedangkan Trump tanyakan orang Amerika is he the best? No, tapi saat yahudi dan uang ikut campur tangan, 2 hari sebelum pengumuman dia menang,” beber dia.
Ia juga mencontohkan dirinya dengan Wali Kota yang tak akan bisa bersaing, meski dilihat sebagai seorang guru besar yang sekalipun ilmunya melebihi Wali Kota, namun tak ada harap jika tak ada uang. Di Indonesia, sekalipun guru besar bisa mengajar mahasiswa S3, namun belum tentu bisa jadi wakil rakyat. Berbekal ilmu politik dan pemerintahan saja di Indonesia menurutnya tidak akan ada hasilnya.
Melihat fakta-fakta tersebut, maka dikatakannya membenahi sistem rekrutmen pemimpin sangat perlu dilakukan. Bukan hanya dari segi finansial saja, namun seorang wakil rakyat, seorang pemimpin harus punya kualitas pendidikan dan attitude yang baik.
“Indonesia, we should move on. Jangan terpaku dengan perpolitikan saat ini. Kita harus berubah membenahi sistem. Jangan hanya di lisan, mari kita kawal. Dukung pemerintah untuk lebih ketat menyeleksi kandidat wakil rakyat,” tutupnya.
Pewarta: Rida Ayu
Foto: Laoh Mahfud
Penyunting: Fia
pewarta : Radar Malang