Kearifan Mbah Marijan
Jawa Pos, 07 Juni 2007
Berbeda dengan perhelatan tahun-tahun sebelumnya, pada Otonomi Award 2007 ini, JPIP akan menampilkan Mbah Marijan sebagai salah satu pembaca nomine peraih Otonomi Award yang memiliki prestasi dalam pelestarian lingkungan pada pelaksanaan otonomi daerah.
Penampilan Mbah Marijan, walaupun tidak langsung (karena direkam), akan menjadi daya tarik tersendiri. Setelah tahun lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hadir, seakan-akan rating malam Otonomi Award sudah mencapai puncaknya, bahasa Jawanya hampir notok.
Menyadari keadaan dan sesuai dengan falsafah "selalu ada yang baru", Tim JPIP mengundang DR Datuk Mahathir Muhammad, mantan perdana menteri (PM) Malaysia, yang berhasil meletakkan dasar kesejahteraan bangsanya dengan kemandirian sebagai esensi otda.
Karena alasan kesehatan, Mahathir berhalangan hadir. Akhirnya, salah seorang top figur yang "ditampilkan" malam otonomi 2007 adalah tokoh lokal bernama Marijan.
Makna Hakiki Otda
Tulisan ini ingin mendalami keyakinan bahwa justru pada situasi seperti saat ini, saat tokoh formal tak kunjung menjadi teladan, kehadiran sosok yang arif dari lokal -seperti Mbah Marijan- begitu penting dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Mengapa? Sebab, semua tujuan otonomi di dunia ini adalah kesejahteraan dan kemajuan lokal. Juga tidak ada otonomi tanpa kemandirian dan kemajuan.
Kemajuan apa pun tak akan punya makna tanpa perlindungan lingkungan dan keberpihakan pada masyarakat lokal. Untuk hal itu, orang boleh belajar banyak dari Mbah Marijan.
Tidak disangsikan lagi, salah satu tolok ukur mengapa suatu daerah dapat meraih penghargaan ialah bagaimana pimpinan, tokoh masyarakat, termasuk masyarakat dunia usaha dan rakyat, bisa merajut kemajuan berbasis kemandirian, kesejahteraan, keadilan, dan kearifan lokal.
Semakin hari kita menemukan kompleksitas pemerintahan dalam konteks otonomi daerah. Harus diakui, hingga enam tahun pelaksanaannya, otda belum bisa memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.
Beberapa sigi mengindikasikan bahwa otda yang diberikan selama ini belum mengembangkan hak-hak adat, kekayaan adat masyarakat, dan keadilan. Otonomi kita, kata sebagian mereka, hanya membuat raja-raja kecil berserta para tengkulak.
Beberapa tahun terakhir, banyak bupati dan wali kota bertanya-tanya, mengapa mereka tak kunjung mendapatkan penghargaan otonomi, padahal APBD mereka besar, investasi mereka tergolong tinggi, dan pembanguan fisik sangat maju pesat. Mereka lupa bahwa tidak semua investasi berguna bagi rakyat. Adakalanya demi investasi, tanah-tanah publik, fasilitas umum, dan tanah rakyat dikorbankan. Sengketa tanah antara negara dan rakyat tidak saja terjadi pada zaman Soeharto, sekarang juga malah merebak.
Ide mengundang Mbah Marijan dalam malam penganugerahan Otonomi Award boleh dibilang cerdas. Terlebih kalau hal itu dikaitkan dengan data hasil sigi beberapa media yang menunjukkan betapa harapan masyarakat akan hadirnya tokoh-tokoh daerah yang bersih dan berwibawa masih jauh dari harapan.
Sebagaimana dikeluhkan banyak kalangan, dapat dikatakan, citra para politikus, pejabat, polisi, hakim kita akhir-akhir ini turun di mata rakyat. Mereka suka lupa akan janjinya, dianggap lebih mementingkan diri dan keluarga daripada memperjuangkn kemaslahatan umum.
Kapasitas Mbah Marijan mencintai masyarakat dan komunitasnya, berupa alam dan kecintaan kepada hewan, jiwa manusia, dan lingkungan sekitarnya, termasuk gundukan batu yang ada di sekelilingnya, sensitivitas akan lingkungan, adalah esensi yang justru harus dimiliki pelaksana pemerintahan dalam era otonomi daerah.
Di negara paternalistis seperti Indonesia, terutama jika masyarakat mulai bosan dengan pidato pejabat, biasanya tokoh lokal seperti Mbah Marijan akan menjadi alternatif panutan.
Di negara lain pun, para tokoh moral seperti Dalai Lama dari pegunungan Tibet dan atau Mother Theresia di Eropa, Mahatma Gandhi dari India, dan tokoh spiritual lainnya selalu menjadi alternatif contoh masyarakat. Bukan pejabat resmi pemerintah.
Dilihat dari ilmu komunikasi, kehadiran Mbah Marijan akan mendongkrak moralitas Otonomi Award dengan citra yang dimiliki Mbah Marijan. Yaitu, pengabdiannya kepada lingkungan. Dengan kata lain, otda harus memiliki moral, kurang lebih seperti yang diperjuangkan Mbah Marijan.
Sebagaimana diketahui, Mbah Marijan bukanlah tokoh kalangan petinggi dari Istana, bukan pula pimpinan elite partai politik yang sering berjanji membela rakyat kecil. Orang yang rendah hati tersebut bukan juga seorang lulusan sekolah formal dengan gelar berjajar-jajar. Mengapa diundang? Alasannya kurang lebih ialah bahwa dia tokoh yang belum memiliki cacat politik.
Moralitas Otonomi Daerah
Dengan totalitas dalam menjaga lingkungan, bahkan Mbah Marijan memerlukan diri untuk minta maaf dengan jalan bersemedi kepada penguasa gunung (Allah SWT) saat ada ranting tanaman yang patah oleh ulah penduduk atau batu pasir yang menangis dikeruk untuk kepentingan ekonomi manusia melebihi takarannya. Selama lebih dari 40 tahun, dia menyatu dengan alam Merapi dan mengetahui dengan benar napas lokalitas Merapi.
Menurut saya, salah satu catatan yang perlu dipelajari para pejabat ialah pesan moral beliau yang dikutip media Juni 1996 bahwa "manusia yang menyuarakan kebaikan akan mendapatkan perlakuan yang baik". Pernyataan itu pas untuk pejabat dan bupati/wali kota peraih Otonomi Award.
Seiring dengan gejala lemahnya kepercayaan rakyat kepada elite (the decline of public trust in elites) dan menguatnya kebutuhan adopsi kearifan lokal (local wisdom), sebetulnya mengangkat sosok Mbah Marijan dalam acara penting sangat membantu menaikkan citra otda. Insya Allah.
Penampilan Mbah Marijan, walaupun tidak langsung (karena direkam), akan menjadi daya tarik tersendiri. Setelah tahun lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hadir, seakan-akan rating malam Otonomi Award sudah mencapai puncaknya, bahasa Jawanya hampir notok.
Menyadari keadaan dan sesuai dengan falsafah "selalu ada yang baru", Tim JPIP mengundang DR Datuk Mahathir Muhammad, mantan perdana menteri (PM) Malaysia, yang berhasil meletakkan dasar kesejahteraan bangsanya dengan kemandirian sebagai esensi otda.
Karena alasan kesehatan, Mahathir berhalangan hadir. Akhirnya, salah seorang top figur yang "ditampilkan" malam otonomi 2007 adalah tokoh lokal bernama Marijan.
Makna Hakiki Otda
Tulisan ini ingin mendalami keyakinan bahwa justru pada situasi seperti saat ini, saat tokoh formal tak kunjung menjadi teladan, kehadiran sosok yang arif dari lokal -seperti Mbah Marijan- begitu penting dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Mengapa? Sebab, semua tujuan otonomi di dunia ini adalah kesejahteraan dan kemajuan lokal. Juga tidak ada otonomi tanpa kemandirian dan kemajuan.
Kemajuan apa pun tak akan punya makna tanpa perlindungan lingkungan dan keberpihakan pada masyarakat lokal. Untuk hal itu, orang boleh belajar banyak dari Mbah Marijan.
Tidak disangsikan lagi, salah satu tolok ukur mengapa suatu daerah dapat meraih penghargaan ialah bagaimana pimpinan, tokoh masyarakat, termasuk masyarakat dunia usaha dan rakyat, bisa merajut kemajuan berbasis kemandirian, kesejahteraan, keadilan, dan kearifan lokal.
Semakin hari kita menemukan kompleksitas pemerintahan dalam konteks otonomi daerah. Harus diakui, hingga enam tahun pelaksanaannya, otda belum bisa memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.
Beberapa sigi mengindikasikan bahwa otda yang diberikan selama ini belum mengembangkan hak-hak adat, kekayaan adat masyarakat, dan keadilan. Otonomi kita, kata sebagian mereka, hanya membuat raja-raja kecil berserta para tengkulak.
Beberapa tahun terakhir, banyak bupati dan wali kota bertanya-tanya, mengapa mereka tak kunjung mendapatkan penghargaan otonomi, padahal APBD mereka besar, investasi mereka tergolong tinggi, dan pembanguan fisik sangat maju pesat. Mereka lupa bahwa tidak semua investasi berguna bagi rakyat. Adakalanya demi investasi, tanah-tanah publik, fasilitas umum, dan tanah rakyat dikorbankan. Sengketa tanah antara negara dan rakyat tidak saja terjadi pada zaman Soeharto, sekarang juga malah merebak.
Ide mengundang Mbah Marijan dalam malam penganugerahan Otonomi Award boleh dibilang cerdas. Terlebih kalau hal itu dikaitkan dengan data hasil sigi beberapa media yang menunjukkan betapa harapan masyarakat akan hadirnya tokoh-tokoh daerah yang bersih dan berwibawa masih jauh dari harapan.
Sebagaimana dikeluhkan banyak kalangan, dapat dikatakan, citra para politikus, pejabat, polisi, hakim kita akhir-akhir ini turun di mata rakyat. Mereka suka lupa akan janjinya, dianggap lebih mementingkan diri dan keluarga daripada memperjuangkn kemaslahatan umum.
Kapasitas Mbah Marijan mencintai masyarakat dan komunitasnya, berupa alam dan kecintaan kepada hewan, jiwa manusia, dan lingkungan sekitarnya, termasuk gundukan batu yang ada di sekelilingnya, sensitivitas akan lingkungan, adalah esensi yang justru harus dimiliki pelaksana pemerintahan dalam era otonomi daerah.
Di negara paternalistis seperti Indonesia, terutama jika masyarakat mulai bosan dengan pidato pejabat, biasanya tokoh lokal seperti Mbah Marijan akan menjadi alternatif panutan.
Di negara lain pun, para tokoh moral seperti Dalai Lama dari pegunungan Tibet dan atau Mother Theresia di Eropa, Mahatma Gandhi dari India, dan tokoh spiritual lainnya selalu menjadi alternatif contoh masyarakat. Bukan pejabat resmi pemerintah.
Dilihat dari ilmu komunikasi, kehadiran Mbah Marijan akan mendongkrak moralitas Otonomi Award dengan citra yang dimiliki Mbah Marijan. Yaitu, pengabdiannya kepada lingkungan. Dengan kata lain, otda harus memiliki moral, kurang lebih seperti yang diperjuangkan Mbah Marijan.
Sebagaimana diketahui, Mbah Marijan bukanlah tokoh kalangan petinggi dari Istana, bukan pula pimpinan elite partai politik yang sering berjanji membela rakyat kecil. Orang yang rendah hati tersebut bukan juga seorang lulusan sekolah formal dengan gelar berjajar-jajar. Mengapa diundang? Alasannya kurang lebih ialah bahwa dia tokoh yang belum memiliki cacat politik.
Moralitas Otonomi Daerah
Dengan totalitas dalam menjaga lingkungan, bahkan Mbah Marijan memerlukan diri untuk minta maaf dengan jalan bersemedi kepada penguasa gunung (Allah SWT) saat ada ranting tanaman yang patah oleh ulah penduduk atau batu pasir yang menangis dikeruk untuk kepentingan ekonomi manusia melebihi takarannya. Selama lebih dari 40 tahun, dia menyatu dengan alam Merapi dan mengetahui dengan benar napas lokalitas Merapi.
Menurut saya, salah satu catatan yang perlu dipelajari para pejabat ialah pesan moral beliau yang dikutip media Juni 1996 bahwa "manusia yang menyuarakan kebaikan akan mendapatkan perlakuan yang baik". Pernyataan itu pas untuk pejabat dan bupati/wali kota peraih Otonomi Award.
Seiring dengan gejala lemahnya kepercayaan rakyat kepada elite (the decline of public trust in elites) dan menguatnya kebutuhan adopsi kearifan lokal (local wisdom), sebetulnya mengangkat sosok Mbah Marijan dalam acara penting sangat membantu menaikkan citra otda. Insya Allah.