Netralitas Pejabat Daerah
Jawa Pos, 6 Juni 2014
Setelah mendapat laporan dari berbagai agen negara, baik yang bersifat rahasia maupun laporan formal, dan mengonfirmasi situasi sosial politik negara terkait dengan persiapan Pemilu Presiden 2014, tiga hari berturut turut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kepala negara mengumpulkan bawahannya di jajaran TNI, pimpinan Polri, dan kepala Badan Intelijen Negara, serta pimpinan pemerintahan yang lain. (Jawa Pos, 3-4 Juni 2014).
Apabila kita cermati, sesungguhnya pelarangan bagi pejabat negara, termasuk menteri dan gubernur, menjadi juru kampanye atau tim sukses capres-cawapres, atau jika terlibat agar mengikuti mekanisme, yaitu mengambil cuti atau mengundurkan diri, bukanlah opini pribadi presiden semata. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, khususnya pasal 217, telah mengatur tata cara pejabat negara apabila menginginkan terjun ke politik praktis.
Sebagaimana diketahui, presiden mengingatkan dengan nada cukup keras dan menegaskan kembali pentingnya netralitas TNI dan pimpinan Polri, para menteri, serta pimpinan lembaga negara setingkat menteri. Mereka tidak diperkenankan memihak dan juga menjadi tim sukses dan atau juru kampanye untuk salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada pemilu tahun ini kecuali mengajukan cuti atau mengundurkan diri.
Bahkan, dalam acara commander call (pemanggilan oleh panglima tertinggi militer) di Sentul International Convention Centre Bogor, presiden berpesan langsung kepada para perwira tinggi TNI-Polri untuk segera mengajukan permohonan pengunduran diri apabila ingin mendukung salah satu pasangan capres-cawapres tertentu agar tidak mengganggu tugas utama yang diamanatkan dan agar dapat lebih fokus mengerjakan tugasnya untuk mengamankan serta menjamin kelangsungan proses demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah.
******
Dalam teori demokrasi, khususnya dalam proses pemilu yang berciri demokratis, keterlibatan militer dalam kelompok politik tertentu memang dinilai sebagai sikap antidemokrasi. Demikian juga, keterlibatan langsung pejabat negara dan penggunaan kekuasaan negara serta penggunaan alat dan aset negara untuk sebuah kelompok tertentu justru akan mengurangi nilai demokrasi itu sendiri, bahkan dapat mendegradasi nilai luhur pemilu yang jujur dan adil. Dengan kata lain, netralitas militer dan ketidakterlibatan pejabat dalam pemilihan presiden juga merupakan kunci pemilu yang demokratis.
Seakan muncul keyakinan kepala negara bahwa apabila polarisasi TNI-Polri terjadi dalam pilpres, unsur sangat strategis negara yang mestinya memiliki satu komando serta satu gerak dan langkah dalam menjalankan peran pertahanan dan keamanan bakal terbelah. Larangan TNI untuk tidak terlibat dalam politik praktis tidak saja termaktub dengan jelas dalam UU 34/2004, namun juga bisa mencederai sumpah prajurit, mengurangi soliditas internal, serta bisa mengurangi nilai profesionalisme TNI yang diagung-agungkan.
Di lingkungan elite, pengaruh dari commander call Presiden SBY sebagai pimpinan tertinggi TNI-Polri, tampaknya, sangat nyata, memiliki echo suara yang berkelanjutan. Diberitakan bahwa setelah commander call itu, Mabes TNI melakukan rapat yang dipimpin langsung oleh Panglima TNI Jenderal Moeldoko untuk menindaklanjuti arahan dan penegasan presiden. Para kepala kesatuan TNI dan Pangdam serta Dandim diminta sementara tetap di Jakarta untuk merumuskan secara lebih detail arahan sang commander. Demikian pula, Kapolri Jenderal Timur Pradopo memimpin langsung tindak lanjut arahan presiden tersebut.
Akan tetapi, untuk kondisi sistem dan kultur politik Indonesia yang sekarang, sepenuhnya menghindarkan pejabat publik setingkat menteri dan gubernur untuk a-politik murni juga akan sangat sulit.
Kenyataan politik yang ada menunjukkan bahwa beberapa menteri adalah ketua umum partai dan pengurus inti partai politik. Mereka menempati posisi menteri dari hasil political sharing dari kesepakatan politik yang berjalan. Dalam kaitan itu, di kubu Jokowi-Jusuf Kalla terdapat nama Muhaimin Iskandar dan Helmy Faishal Zaini (PKB), sedangkan di pihak Prabowo-Hatta ada sederet nama menteri seperti Agung Laksono, Syarif Cicip Sutarjo, M.S. Hidayat (Golkar), Zulkifli Hasan (PAN), serta Salim Segaf Al Djufri dan Azwar Abubakar (PKS). Bahkan, tidak dapat dimungkiri, status Presiden SBY sendiri sebagai ketua umum partai politik turut memperumit proses netralitas pejabat negara dari politik praktis secara keseluruhan.
*******
Secara harfiah, netralitas adalah sikap tidak memihak kepada pihak yang sedang bersengketa atau bertanding. Dalam kaitan pilpres, netralitas adalah keadaan pejabat negara memperlakukan dan memandang capres-cawapres pada posisi di luar tugas organisasinya dan terpisah dari pelaksanaan fungsi pokoknya untuk melayani rakyat dan negara. Dalam bahasa Inggris, itu sering disebut impartiality. Imparsialitas itulah inti sikap netral tersebut.
Pelajaran paling berharga yang dapat diambil berkaitan dengan betapa pentingnya netralitas TNI-Polri dan pejabat negara dalam pemilu adalah kasus Thailand. Negara yang memiliki capaian ekonomi dan destinasi pariwisata yang bagus di Asia Tenggara itu sekarang dilanda krisis legitimasi kekuasaan yang disebabkan terlalu masuknya pimpinan militer di Negeri Gajah Putih tersebut. Elite militer Thailand, tampaknya, tidak bisa menahan nafsu menghindarkan diri untuk mengurus proses demokrasi dalam memilih perdana menteri.
Demikian pula, situasi kekacauan politik di beberapa negara di Timur Tengah disebabkan, antara lain, tidak adanya netralitas pejabat negara, belum adanya kedewasaan politik, dan profesionalitas militer yang belum lahir.
Bagi kita di Indonesia, sesungguhnya terbuka waktu untuk berbenah. Masih ada ruang untuk memperbaiki diri. Apabila para pejabat kita bisa netral, besar pula harapan untuk mempertahankan julukan negara a great country as a school of democracy, negara besar yang merupakan sekolahnya demokrasi.
Sumber:
http://www.jawapos.com/baca/artikel/2170/Netralitas-Pejabat-Negara-
Apabila kita cermati, sesungguhnya pelarangan bagi pejabat negara, termasuk menteri dan gubernur, menjadi juru kampanye atau tim sukses capres-cawapres, atau jika terlibat agar mengikuti mekanisme, yaitu mengambil cuti atau mengundurkan diri, bukanlah opini pribadi presiden semata. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, khususnya pasal 217, telah mengatur tata cara pejabat negara apabila menginginkan terjun ke politik praktis.
Sebagaimana diketahui, presiden mengingatkan dengan nada cukup keras dan menegaskan kembali pentingnya netralitas TNI dan pimpinan Polri, para menteri, serta pimpinan lembaga negara setingkat menteri. Mereka tidak diperkenankan memihak dan juga menjadi tim sukses dan atau juru kampanye untuk salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada pemilu tahun ini kecuali mengajukan cuti atau mengundurkan diri.
Bahkan, dalam acara commander call (pemanggilan oleh panglima tertinggi militer) di Sentul International Convention Centre Bogor, presiden berpesan langsung kepada para perwira tinggi TNI-Polri untuk segera mengajukan permohonan pengunduran diri apabila ingin mendukung salah satu pasangan capres-cawapres tertentu agar tidak mengganggu tugas utama yang diamanatkan dan agar dapat lebih fokus mengerjakan tugasnya untuk mengamankan serta menjamin kelangsungan proses demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah.
******
Dalam teori demokrasi, khususnya dalam proses pemilu yang berciri demokratis, keterlibatan militer dalam kelompok politik tertentu memang dinilai sebagai sikap antidemokrasi. Demikian juga, keterlibatan langsung pejabat negara dan penggunaan kekuasaan negara serta penggunaan alat dan aset negara untuk sebuah kelompok tertentu justru akan mengurangi nilai demokrasi itu sendiri, bahkan dapat mendegradasi nilai luhur pemilu yang jujur dan adil. Dengan kata lain, netralitas militer dan ketidakterlibatan pejabat dalam pemilihan presiden juga merupakan kunci pemilu yang demokratis.
Seakan muncul keyakinan kepala negara bahwa apabila polarisasi TNI-Polri terjadi dalam pilpres, unsur sangat strategis negara yang mestinya memiliki satu komando serta satu gerak dan langkah dalam menjalankan peran pertahanan dan keamanan bakal terbelah. Larangan TNI untuk tidak terlibat dalam politik praktis tidak saja termaktub dengan jelas dalam UU 34/2004, namun juga bisa mencederai sumpah prajurit, mengurangi soliditas internal, serta bisa mengurangi nilai profesionalisme TNI yang diagung-agungkan.
Di lingkungan elite, pengaruh dari commander call Presiden SBY sebagai pimpinan tertinggi TNI-Polri, tampaknya, sangat nyata, memiliki echo suara yang berkelanjutan. Diberitakan bahwa setelah commander call itu, Mabes TNI melakukan rapat yang dipimpin langsung oleh Panglima TNI Jenderal Moeldoko untuk menindaklanjuti arahan dan penegasan presiden. Para kepala kesatuan TNI dan Pangdam serta Dandim diminta sementara tetap di Jakarta untuk merumuskan secara lebih detail arahan sang commander. Demikian pula, Kapolri Jenderal Timur Pradopo memimpin langsung tindak lanjut arahan presiden tersebut.
Akan tetapi, untuk kondisi sistem dan kultur politik Indonesia yang sekarang, sepenuhnya menghindarkan pejabat publik setingkat menteri dan gubernur untuk a-politik murni juga akan sangat sulit.
Kenyataan politik yang ada menunjukkan bahwa beberapa menteri adalah ketua umum partai dan pengurus inti partai politik. Mereka menempati posisi menteri dari hasil political sharing dari kesepakatan politik yang berjalan. Dalam kaitan itu, di kubu Jokowi-Jusuf Kalla terdapat nama Muhaimin Iskandar dan Helmy Faishal Zaini (PKB), sedangkan di pihak Prabowo-Hatta ada sederet nama menteri seperti Agung Laksono, Syarif Cicip Sutarjo, M.S. Hidayat (Golkar), Zulkifli Hasan (PAN), serta Salim Segaf Al Djufri dan Azwar Abubakar (PKS). Bahkan, tidak dapat dimungkiri, status Presiden SBY sendiri sebagai ketua umum partai politik turut memperumit proses netralitas pejabat negara dari politik praktis secara keseluruhan.
*******
Secara harfiah, netralitas adalah sikap tidak memihak kepada pihak yang sedang bersengketa atau bertanding. Dalam kaitan pilpres, netralitas adalah keadaan pejabat negara memperlakukan dan memandang capres-cawapres pada posisi di luar tugas organisasinya dan terpisah dari pelaksanaan fungsi pokoknya untuk melayani rakyat dan negara. Dalam bahasa Inggris, itu sering disebut impartiality. Imparsialitas itulah inti sikap netral tersebut.
Pelajaran paling berharga yang dapat diambil berkaitan dengan betapa pentingnya netralitas TNI-Polri dan pejabat negara dalam pemilu adalah kasus Thailand. Negara yang memiliki capaian ekonomi dan destinasi pariwisata yang bagus di Asia Tenggara itu sekarang dilanda krisis legitimasi kekuasaan yang disebabkan terlalu masuknya pimpinan militer di Negeri Gajah Putih tersebut. Elite militer Thailand, tampaknya, tidak bisa menahan nafsu menghindarkan diri untuk mengurus proses demokrasi dalam memilih perdana menteri.
Demikian pula, situasi kekacauan politik di beberapa negara di Timur Tengah disebabkan, antara lain, tidak adanya netralitas pejabat negara, belum adanya kedewasaan politik, dan profesionalitas militer yang belum lahir.
Bagi kita di Indonesia, sesungguhnya terbuka waktu untuk berbenah. Masih ada ruang untuk memperbaiki diri. Apabila para pejabat kita bisa netral, besar pula harapan untuk mempertahankan julukan negara a great country as a school of democracy, negara besar yang merupakan sekolahnya demokrasi.
Sumber:
http://www.jawapos.com/baca/artikel/2170/Netralitas-Pejabat-Negara-